Waktu itu, pukul 10:20, Selasa Februari 2011. waktu berjalan begitu cepat. Dalam sekejab … Gereja St. Petrus dan Paulus Temanggung dirusak oleh massa. “Kami mengutuk perbuatan kekerasan ini tapi kami mengampuni para pengrusak itu” demikianlah sikap Rm Sadana Hadiwardaya, Rm Dwi Nugraha Sulistya serta umat Temanggung. Kekerasan terhadap gereja sungguh tidak masuk akal. Menghancurkan simbol-simbol keagamaan sungguh suatu tindakan yang tidak masuk akal.
Pengampunan, mencintai musuh juga tidak masuk akal namun inilah elemen penting untuk meletakkan gambar aturan kehidupan yang baru. Di tengah dunia yang terpecah-pecah karena alasan agama, politik, sosial, idiologi; dalam masyarakat yang terfragmentasi dan disuburkan kebencian, pengampunan bisa melembutkan situasi, mengendorkan ketegangan, serta menawarkan pendekatan baru. Mengampuni tidak berarti menerima apa yang tidak bisa diterima (the unacceptable), tidak melupakan ketidakadilan, tidak juga mengalah pada kehendak orang lain. Pengampunan juga bukan diidentifikasikan dengan aksi, perbuatan atau kewajiban yang harus dilakukan. Pengampunan adalah sebuah opsi, sikap serta penerimaan untuk tidak memperpanjang situasi menyakitkan yang menghalang-halangi kondisi bahagia, bebas dan sadar akan realitas.
Mengampuni bukan berarti melupakan namun lebih memandang segala sesuatu dengan perspektif yang berbeda. Dan ini tidak bisa dicapai dengan cara otomatis, namun dengan cara yang berkelanjutan.
Agama menjadi real ketika menyembuhkan orang saat ada disintegrasi dan membangun komunio. Agama menjadi real ketika pengampunan dan rekonsiliasi terjadi karena dalam sejarah komunitas selalu ada kemungkinan perpecahan dan fragmentasi. Setelah itu diharapkan ada rekonsiliasi yakni proses sosial yang menyertakan dua kelompok membangun masa depan yang damai. (sumber: Dapoer Misi MSF Jawa)